Ada
sebuah pertanyaan menarik yang beberapa hari ini saya jumpai di platform sosial
media, baik Instagram maupun Twitter. “Apa yang akan kamu lakukan pertama kali
saat karantina ini usai?”
Saya
mantap menjawab liburan. Saya ingin menghadiahkan perasaan rileks pada diri
sendiri. Sebab, jujur saja, pandemi corona ini menyumbang emosi-emosi negatif
terhadap psikis saya.
Lantas,
terlintaslah sebuah ide. Mengapa saya tidak sekalian saja berlibur ke ujung
timur Indonesia, Papua? Mengingat predikat yang disandangnya sebagai paru-paru
dunia. Sungguh, Papua adalah destinasi yang tepat guna memulihkan diri dari
belenggu emosi.
Papua, Destinasi Wisata Hijau
Seketika
terbayang semilir angin yang sedikit malu, menyelinap diam-diam menyejukkan
kalbu. Menerpa rerumputan yang terhampar luas sejauh pandangan, bergesekan,
menenangkan. Mengundang burung Cendrawasih untuk ikut bergoyang, di bawah rona jingga
senja yang membayang.
Haduh,
haduh. Mendadak puitis begini, tersihir oleh pesona yang ditawarkan tanah
Papua. Tidak heran jika destinasi wisata hijau disematkan padanya. Warna hijau
identik dengan keteduhan, kesegaran, kesuburan, kesejukan, keseimbangan, dan
ketenangan. Sesuai dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Papua.
Hutan Papua Sebagai Wilayah
Konservasi Hutan Dunia
Pada
mulanya, provinsi Papua dikenal sebagai Irian Jaya yang meliputi seluruh
kawasan Papua. Lalu, sejak tahun 2003, dibagi menjadi dua wilayah provinsi.
Bagian timur tetap menggunakan istilah Papua sedangkan bagian baratnya
menggunakan istilah Papua Barat.
Papua
merupakan provinsi paling luas Indonesia. Dengan luas sekitar 421.981 km2, luas
hutannya sebesar 28,62 juta ha, meliputi 16,034 juta ha dalam bentuk hutan
primer. Hutan di Papua merupakan penghasil tanaman pangan sagu, bahkan dari
total enam juta ha pohon sagu di seluruh dunia, 90% berasal dari Papua.
Sementara
itu, luas provinsi Papua Barat ialah sekitar 143.076 km2. Provinsi ini
berkontribusi sebesar 8,12% terhadap luas hutan hujan tropis di Indonesia.
Hutan Papua Barat menjadi sumber inspirasi kehidupan serta budaya masyarakat
adat. Selanjutnya, hutan Papua Barat juga
berkontribusi sebagai paru-paru dunia, karena menyimpan jutaan metrik
ton karbon.
Ironisnya,
dari tahun ke tahun luas hutan di tanah Papua semakin menyempit. Pada tahun
2009 diketahui bahwa luas hutan di Papua mencapai 42 juta ha, sementara data
yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015
menunjukkan bahwa luas hutan di Papua hanya mencapai 38.153.269 ha.
Padahal,
hutan Papua merupakan sumber kehidupan. Oksigen yang dikandungnya tidak hanya
melestarikan berbagai flora dan fauna, melainkan menentukan keberlangsungan
hidup masyarakat adat di sana khususnya, serta masyarakat dunia umumnya.
Kurang
lebih sepekan yang lalu, tepatnya tanggal 21 Maret diperingati sebagai Hari
Hutan Sedunia. Hal ini mengingatkan kita untuk menjaga hutan agar tetap
lestari, guna keberlangsungan hidup anak cucu nanti. Sejalan dengan pernyataan
Papua Barat pada tahun 2015, hendak menjadikan wilayahnya sebagai provinsi
konservasi. Gayung bersambut, 21 Maret 2019 DPRD Papua Barat mengesahkan
Peraturan Daerah Khusus Provinsi Pembangunan Berkelanjutan, menjadikan Papua
Barat sebagai provinsi konservasi pertama di Indonesia bahkan dunia.
Ekowisata
Kepedulian
terhadap hutan Papua juga ditunjukkan oleh Yayasan Ekosistim Nusantara
Berkelanjutan (EcoNusa). EcoNusa berfokus pada pengelolaan sumber daya alam
yang berkeadilan dan berkelanjutan di Indonesia dengan memberi penguatan terhadap
inisiatif-inisiatif lokal. Ekowisata
adalah satu alternatif yang dikemukakan oleh EcoNusa guna mendukung hutan Papua
sebagai wilayah konservasi dunia.
Ekowisata
merupakan kegiatan pariwisata yang memiliki tanggung jawab kepada alam,
masyarakat, dan lingkungan sekitar. Selain mendukung konservasi, ekowisata juga
memiliki prinsip untuk memberdayakan ekonomi lokal, menghormati kepercayaan
masyarakat setempat, serta pendidikan lingkungan.
Muhammad
Farid, selaku Direktur Program Yayasan EcoNusa
memaparkan bahwa ekowisata harus berbasis masyarakat adat kareba
masyarakat adat lebih mengenali potensi alamnya, baik itu budaya, kuliner, pun
kerajinan tangannya.
Ekowisata
berbasis masyarakat merupakan salah satu konsep yang tepat dilakukan guna
meningkatkan pertumbungan ekonomi masyarakat sekaligus melindungi,
memberdayakan, mengoptimalkan, dan melestarikan sumber dayanya.
Yuk, intip sang pahlawan, yuk!
***
Sumber tulisan
:
Sumber
gambar :
Sumber video :
Infografis
:
Diolah oleh Fauziah
Putri Pradani dengan menggunakan Adobe Photoshop
Disclaimer postingan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Papua, Destinasi Wisata Hijau yang diadakan oleh https://bloggerperempuan.co.id/ dan https://www.econusa.id/. Periode 1 - 31 Maret 2020.
Aku juga pengen ikut Teh :')
BalasHapusPengen banget bisa ke Papua, banyak teman sekolahku masih tinggal di sana
BalasHapusGak kebayang deh kalau bisa berkunjung ke Papua. Pasti seru sekali karena bisa melihat langsung keindahan alam yang jarang di temui di bagian manapun di Indonesia. Terlebih di Raja Ampatnya dengan surga bawah lautnya.
BalasHapus